koranindonesia.id – Pakar Hukum Pidana Universitas Mataram, Ufran Trisa, menyoroti kelemahan jaksa dalam membuktikan kerugian negara sebesar Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi timah. Ia menilai Kejaksaan Agung (Kejagung) gagal menghadirkan alat bukti yang cukup kuat untuk mendukung klaim tersebut hingga akhir persidangan.
”Baca Juga: Alvin Lim Berencana Resmikan Kantor Law Firm di Surabaya“
“Jaksa tetap kukuh dengan praduga kerugian negara, tetapi tidak mampu menghadirkan alat bukti yang benar-benar membenarkan angka sebesar itu,” ungkap Ufran dalam keterangannya pada Minggu (5/1/2025).
Selain itu, kerugian ekologis yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan juga tidak dapat dijadikan bukti korupsi dalam kasus ini. Hal ini menjadi salah satu kelemahan signifikan dalam penanganan kasus tersebut, terutama karena dampak lingkungan memiliki konsekuensi besar terhadap masyarakat dan ekosistem.
Dalam perkembangan terbaru, Kejagung mengalihkan perhatian pada lima perusahaan yang diduga terlibat dalam menyebabkan kerugian negara. Perusahaan-perusahaan tersebut meliputi:
Upaya untuk menjerat perusahaan-perusahaan ini kini menjadi fokus utama Kejagung. Namun, tanpa alat bukti yang kuat, peluang untuk membuktikan keterlibatan mereka dalam kerugian negara dan dampak ekologis tetap menjadi tantangan besar.
Kasus ini menunjukkan pentingnya pendekatan hukum yang lebih komprehensif, termasuk mempertimbangkan dampak lingkungan sebagai bagian dari tindak pidana korupsi. Dengan demikian, proses hukum dapat berjalan lebih efektif dan berkeadilan.
Ufran juga mengkritisi metode penghitungan kerugian negara yang didasarkan pada kerugian ekologis. Ia menyebutkan bahwa argumentasi hukum yang digunakan belum cukup kuat untuk mengaitkan kerugian ekologis dengan kerugian keuangan negara. Pendapat ini merujuk pada Laporan Hasil Kajian (LHK) Nomor VII Tahun 2014, yang menjadi dasar perhitungan dalam kasus ini.
”Baca Juga: Erick Thohir Dorong Bandara Indonesia Setara Kelas Dunia“